Kamis, 25 November 2010

SISTEM SURVEILANS DEMAM BERDARAH (DBD)



Pendahuluan
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia. Penyakit ini mempunyai perjalanan penyakit yang cepat, mudah menyebar dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat.
Prediksi kejadian demam berdarah dengue di suatu wilayah, selama ini dilakukan berdasarkan stratifikasi endemisitas, pola maksimal−minimal dan siklus 3−5 tahun sesuai dari data Surveilans epidemiologi. Indonesia sehat tahun 2010 difokuskan pada preventif yaitu pencegahan preventif yang diaplikasikan di masyarakat belum dilaksanakan dengan benar. Diantaranya adalah wabah penyakit demam berdarah atau DBD. Sampai saat ini di tiap pelosok baik kota maupun desa selalu ada kematian yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut. Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh infeksi virus yang dibawa oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus betina yang umumnya menyerang pada pada musim hujan dan musim panas. Virus itu menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan. Manifestasi klinis dari infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue dan DBD dengue.
Secara umum 2,5 sampai 3 milyar orang beresiko terserang penyakit DBD, Aedes aegypti merupakan vektor epidemi utama, penyebaran penyakit ini, diperkirakan terdapat 50 sampai 100 juta kasus per tahun, 500.000 kasus menuntut perawatan di Rumah Sakit, dan 90 % menyerang anak-anak dibawah 15 tahun, rata-rata angka kematian (Case Fatality Rate/CFR ) mencapai 5 %, secara epidemis bersifat siklis (terulang pada jangka waktu tertentu), dan belum ditemukan vaksin pencegahnya (Depkes RI, 2000).
Surveilans epidemiologi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam mendukung pengendalian dan penanggulangan penyakit menular, tidak terkecuali pada kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit DBD.Demam berdarah dengue (DBD) telah menjadi momok dalam masyarakat Indonesia dalam kurun waktu yang sangat lama. Menurut WHO, surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Oleh karena itu perlu di kembangkan suatu definisi surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data. Dalam sistem ini yang dimaksud dengan surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.

Pembahasan
A. Demam Berdarah Dengue (DBD)
·      Definisi Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang akut yang disebabkan oleh virus dengue dan disebarkan oleh nyamuk yaitu nyamuk aedes aegypti betina.

·      Penyebab Demam Berdarah Dengue
Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue dengan tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Virus tersebut termausk dalam group B Arthropod borne viruses (ARBOVIRUSES). Keempat virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia antara lain Jakarta dan Yogyakarta. Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue dengan tipe satu dan tiga.

·      Gejala
Gejala pada penyakit demam berdarah diawali dengan :
a.Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38oC– 40oC).
b.Manifestasi pendarahan, dengan bentuk: uji tourniquet positif puspura pendarahan, konjungtiva, epitaksis, melena, dsb.
c.Hepatomegali (pembesaran)
d.Syok, tekanan nadi menurun menjadi 20mmHg atau kurang, tekanan  sitolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
e.Trombositopeni, pada hari ke 3-7 ditemukan penurunan trombosit  sampai 100.000/mm.
f. Hemokonsentrasi, meningkatnya nilai hematokrit.
g.Gejala-gejala klinik lainnya yang dapat menyertai: anoreksia, lemah,  mual-mual, muntah, sakit perut, diare, kejang, dan sakit kepala Pendarahan pada hidung dan gusi.
i.Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merah pada  kulit akibat pecahnya pembuluh darah.

·      Masa Inkubasi
    Masa inkubasi terjadi selama 4-6 hari.

·      Penularan
Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti / Aedes albopictus betina yang spade webelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari penderita demam berdarah lain. Nyamuk aedes aegypti berasaldari Brasil dan Etiopia, dan sering menggigit manusia pada waktu pagi dan siang. Orang yang beresiko terkena demam berdarah adalah anak-anak yang berusia dibawah 15 tahun, dan sebagian besar inggal di lingkungan lembab, serta daerah pinggiran kumuh. Penyakit DBD sering terjadi di daerah tropis, dan muncul pada musim penghujan. Virus ini kemungkinan muncul akibat pengaruh musim atau alam serta perilaku manusia.

·      Penyebaran
Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila, Filipina pada tahun 1953. Kasus di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Beberapa tahun kemudian penyakit ini menyebar ke beberapa propinsi si Indonesia, dengan jumlah kasus sebagai berikut:
-  Tahun 1996 : Jumlah kasus 45.548 orang, dengan jumlah kematian
sebanyak 1.234 orang.
-  Tahun 1998 : Jumlah kasus 72.133 orang, dengan jumlah kematian
sebanyak 1.414 orang (terjadi ledakan).
-  Tahun 1999 : Jumlah kasus 21.134 orang.
-  Tahun 2000 : Jumlah kasus 33.443 orang.
-  Tahun 2001 : Jumlah kasus 45.904 orang.
-  Tahun 2002 : Jumlah kasus 40.377 orang.
-  Tahun 2003 : Jumlah kasus 50.131 orang.
-  Tahun 2004 : sampai tanggal 5 Maret 2004 jumlah kasus sudah mencapai
26.15    ang, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang.

B. Pencegahan Demam Berdarah Dengue
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk aides aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat baik secara lingkungan, biologis maupun secara kimiawi yaitu:

1. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modofikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah.

PSN pada dasarnya merupakan pemberantasan jentik atau mencegah agar nyamuk tidak berkembang tidak dapat berkembang biak. Pada dasarnya PNS ini dapat dilakukan dengan:
a. Menguras bak mandi dan tempat-tempat panampungan air sekurang- kurangnya seminggu sekali,. Ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa perkembangan telur agar berkembang menjadi nyamuk adalah 7-10 hari.
b. Menutup rapat tempat penampungan air seperti tempayan, drum, dan tempat air lain dengan tujuan agar nyamuk tidak dapat bertelur pada tempat-tempat tersebut.
c. Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung setidaknya  seminggu sekali.
d. Membersihkan pekarangan dan halaman rumah dari barang-barang bekas terutama yang berpotensi menjadi tempat berkembangnya jentik-jentik nyamuk, seperti sampah keleng, botol pecah, dan ember plastik.
e. Munutup lubang-lubang pada pohon terutama pohon bambu dangan  menggunakan tanah.
f. Membersihkan air yang tergenang di atap rumah serta membersihkan  salurannya kembali jika salurannya tersumbat oleh sampah-sampah dari daun.

2. Biologis
Pengendalian secara biologis adalah pengandalian perkambangan nyamuk  dan jentiknya dengan menggunakan hewan atau tumbuhan. seperti memelihara  ikan cupang pada kolam atau menambahkannya dengan bakteri Bt H-14 

3. Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi merupakan cara pengandalian serta pembasmian nyamuk serta jentiknya dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Cara pengendalian ini antara lain dengan:
·      Pengasapan/fogging dengan menggunakanmal athion danf enthion yang berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan aides aegypti sampai batas tertentu.
·      Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air  seperti gentong air, vas bunga, kolam dan lain-lain.
     Cara yang paling mudah namun efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara diatas yang sering kita sebut dengan istilah 3M plus yaitu dengan menutup tempat penampungan air, menguras bak mandi dan tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali serta menimbun sempah-sampah dan lubang-lubang pohon yang berpotensi sebagai tempat perkembangan jentik-jentik nyamuk. Selain itu juga dapat dilakukan dengan melakukan tindakanplus seperti memelihara ikan pemakan jentik-jentik nyamuk, menur larvasida, menggunakan kelambu saat tidur, memesang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memesang obat nyamuk, memeriksa jentik nyamuk secara berkala serta tindakan lain yang sesuai dengan kondisi setempat.

C.  Program-program untuk DBD
langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah penderita DBD di Indonesia, mulai dari program pencegahan sampai program case management untuk masyarakat yang telah terjangkit oleh virus dengue ini, tahapan-tahapan program tersebut, antara lain :
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
·      Pengertian PSN DBD
Pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) adalah kegiatan memberantas telur, jentik, dan kepompong nyamuk penular DBD (Aedes aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya.

 
·  Tujuan PSN DBD
Mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.

·  Sasaran PSN DBD
Sasaran pemberantasan sarang nyamuk DBD yaitu semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD.
a.    Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari.
b.    Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari(non-TPA).
c.    Tempat penampungan air alamiah.(Depkes RI, 2005).

·  Ukuran Keberhasilan PSN DBD
Keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95 % diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.

·  Tindakan PSN terdiri atas beberapa kegiatan antara lain:
1. 3 M (Menguras, Menutup, Mengubur)
3M adalah tindakan yang dilakukan secara teratur untuk memberantas jentik dan menghindari gigitan nyamuk Demam Berdarah dengan cara:
a. Menguras:
Menguras tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan,  ember, vas bunga, tempat minum burung dan lain-lain seminggu sekali.
b. Menutup:
Menutup rapat semua tempat penampungan air seperti ember, gentong,  drum, dan lain-lain.
c. Mengubur:
Mengubur semua barang-barang bekas yang ada di sekitar rumah yang dapat menampung air hujan.


2. Fogging
Fogging merupakan suatu kegiatan penyemprotan insektisida dan PSN-DBD serta penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus dengan radius 200 meter, dilaksanakan 2 siklus dengan interval 7 hari oleh petugas. Biasanya Fogging diadakan 2 kali di suatu tempat menggunakan malathion dalam campuran solar dosis 438 g/ha. (500 ml malathion 96%technical grade/ha).
Sasaran adalah rumah serta bangunan di pinggir jalan yang dapat dilalui mobil di desa endemis tinggi. Alat yang dipakai swing fog SN 1 untuk bangunan dan mesin ULV untuk perumahan. Waktu pengasapan pagi dan sore ini dengan memperhatikan kecepatan angin dan suhu udara. Fogging dilakukan oleh tim yang terlatih dari Dinas Kesehatan Propinsi dan Pusat sesudah survei dasar. Penanggulangan fogging fokus ini dilakukan dengan maksud untuk mencegah/membatasi penularan penyakit. Cara ini dapat dilakukan untuk nyamuk dewasa maupun larva. Untuk nyamuk dewasa saat ini dilakukan dengan cara pengasapan (thermal fogging) atau pengagutan (colg Fogging = Ultra low volume). Pemberantasan nyamuk dewasa tidak dengan menggunakan cara penyemprotan pada dinding (resisual spraying) karena nyamuk Ae.aegypti tidak suka hinggap pada dinding, melainkan pada benda-benda yang tergantung seperti kelambu dan pakaian yang tergantung. Untuk pemakaian di rumah tangga dipergunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan yang disemprotkan kedalan kamar atau ruangan misalnya, golongan organophospat atau pyrethroid synthetic.
Adapun syarat-syarat untuk melakukan fogging], yaitu:
1.    Adanya pasien yang meninggal di suatu daerah akibat DBD.
2.    Tercatat dua orang yang positif terkena DBD di daerah tersebut.
3.    Lebih dari tiga orang di daerah yang sama, mengalami demam.Plus adanya jentik-jentik nyamuk Aedes Aegypti.
            Apabila ada laporan DBD di rumah sakit atau puskesmas di suatu daerah, maka pihak rumah sakit harus segera melaporkan dalam waktu 24 jam, setelah itu akan langsung diadakan penyelidikan epidemiologi kemudian baru fogging fokus.

3. Larvasiding
Larvasiding adalah pemberantasan jentik dengan bahan kimia dengan menaburkan bubuk larvasida. Pemberantasan jentik Aedes aegypti dengan bahan kimia terbatas untuk wadah (peralatan) rumah tangga yang tidak dapat dimusnahkan, dibersihkan,dikurangi atau diatur. Dalam jangka panjang penerapan kegiatan larvasiding sulit dilakukan dan mahal. Kegiatan ini tepat digunakan apabila survelans penyakit dan vector menunjukkan adanya periode berisiko tinggi dan di lokasi dimana wabah mungkin timbul. Menentukan waktu dan tempat yang tepat untuk pelaksanaan larvasiding sangat penting untuk memaksimalkan efektifitasnya.
Terdapat 2 jenis larvasida yang dapat digunakan pada wadah yang dipakai untuk menampung air minum (TPA) yakni: temephos (Abate 1%) dan Insect growth regulators (pengatur pertumbuhan serangga) Untuk pemberantasan larva dapat digunakan abate 1 % SG. Cara ini biasanya digunakan dengan menaburkan abate kedalam bejana tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat mencegah adanya jentik selama 2-3 bulan. Kegiatan larvasiding meliputi:
a.    .Abatisasi selektif
Abatisasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat penampungan air (TPA) baik didalam maupun diluar rumah pada seluruh rumah dan bangunan di desa/kelurahan endemis dan sporadik dan penaburan bubuk abate (larvasida) pada TPA yang ditemukan jentik dan dilaksanakan 4 kali setahun. Pelaksana abatisasi adalah kader yang telah dilatih oleh petugas Puskesmas.Tujuan pelaksanaan abatisasi selektif adalah sebagai tindakan sweeping hasil penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD. 
b.    Abatisasi massal
Abatisasi massal adalah penaburan abate atau altosid (larvasida) secara serentak diseluruh wilayah/daerah tertentu disemua TPA baik terdapat jentik maupun tidak ada jentik di seluruh rumah/bangunan. Kegiatan abatisasi massal ini dilaksanakan dilokasi terjadinya KLB DBD. Dalam kegiatan abatisasi massal masyarakat diminta partisipasinya untuk melaksanakan pemberantasan Aedes aegypti di wilayah masing-masing. Tenaga di beri latihan dahulu sebelum melaksanakan abatisasi, agar tidak mengalami kesalahan.
4. Memelihara ikan pemakan jentik-jentik nyamuk
5. Cegah gigitan nyamuk dengan cara:
a. Membunuh jentik nyamuk Demam Berdarah di tempat air yang sulit dikuras atau sulit air dengan menaburkan bubuk Temephos (abate) atau Altosoid 2-3 bulan sekali dengan takaran 1 gram abate untuk 10 liter air atau 2,5 gram Altosoid untuk 100 liter air.Abate dapat di peroleh/dibeli di  Puskesmas atau di apotik.
b. Mengusir nyamuk dengan obat anti nyamuk.
c. Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk gosok.
d. Memasang kawat kasa dijendela dan di ventilasi
e. Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar.
f. Gunakan sarung klambu waktu tidur.

Contoh sistem surveilans demam berdarah yang terdapat pada kota Semarang
Evaluasi Dan Implementasi Surveilens Deman Berdarah Dengue (Dbd) 
Kota Semarang termasuk daerah endemis DBD. Kalau kita melihat Angka insidensi DBD di Kota Semarang, pada tahun 2001, angkanya mencapai 45,02 per 1000 penduduk dan angka kematiannya adalah 29 orang. Tahun 2002 terdapat 11 kasus DBD, tahun 2003 terdapat 18 kasus dan tahun 2004 terdapat 39 kasus DBD. Kelurahan srondol kulon dikecamatan banyumanik merupakan salah satu kelurahan yang endemis Data ini adalah data yang hanya berasal dari rumah sakit yang melaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Semarang, belum lagi ditambah dengan kasus-kasus yang tidak terlaporkan.Melihat kegawatan penyakit ini maka seharusnya sistem pencatatan dan pelaporan guna keperluan perencanaan, pencegahan dan pembarantasan penyakit DBD didukung oleh sistem yang handal. Yakni suatu system yang dapat menyediakan data dan informasi yang akurat, valid dan up to date. Namun sampai saat ini sistem surveilans DBD di Dinkes Kota Semarang masih dikerjakan secara manual. Sistem seperti ini maka sering timbul masalah tentang keterlambatan pelaporan serta data yang disajikan tidak valid dan up to date, yang pada akhirnya akan menggangu proses penrencanaan, pencegahan dan upaya-upaya pembarantasannya.Prilaku masyarakat terhadap suatu penyakit termsuk DBD, tidak terlepas dari pengaruh latar belakang social budaaya. Pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, status social, dan kebiasaan merupakan factor-faktor yang bias mempengaruhi prilaku masyarakat dalam menghadapi penyakit DBD.

Metode :
Metode yang digunakan adalah survey melalui wawancara langsung dengan kuisioner terstruktur dan pendekatan cross sectional study. Populasi dlam penelitian ini adalah orang dewasa (kepala keluarga, atau salah satu anggota keluarga yang berumur antara 15-60 tahun). Sample diambil sebanyak 100 orang.

Result :
Dari hasil penelitian memberikan gambaran bahwa sebagian besar (77%), keluarga responden biasa tidur siang di rumah, terutama anak-anak sepulang sekolah, dan umumnya tidur jam 13.00 (29%), dan jam 12.00 (22%). Mayoritas alasan tidur siang adalah untuk istrahat setelah beraktifitas dan capek. presentase pendidikan terbanyak responden adalah SMU (40%) dan yang terendah adalah pendidikan tidak sekolah sekitar 3.0%. sebagian besar pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga sebesar 59%, di ikuti pegawai swasta sekitar 16.0% dan yang palingg rendah pekerjaan sebagai TNI. Mayoritas responden memiliki pengetahuan yang kurang baik mengenai DBD yaitu sekitar 85%. Dan selebihnya 15% yang berprilaku baik.sedangkan sikap responden yang kurang mendukung 51 % terhadap pencegahan penyakit DBD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 39% responden memiliki praktik/prilaku  yang baik dalam menghadapi DBD. Sekitar 61% melakukan praktik pencegahan DBD. Hanya saja, tidak didukung oleh pengetahuan yang baik, praktik-praktik tersebut tidak sesuai prosedur PSN yang disarankan. 

Discussion :
Penemuan utama Karektiristik masyarakat di srodol kulon biasanya kerja bakti di lingkungannya, dan ini sudah dilakukan sejak lama bahkan ada yang menyatakan telah dilakukan secara turun menurun. Sebagian besar responden menyatakan frekuensi kerja bakti ini adalah sebulan sekali, walaupun ada yang menyatakan sekali seminggu sekali. Prilaku seperti ini dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan oleh masyarakat setempat. Hal tersebut lama kelamaan menjadi sebuah tradisi yang telah dilakukan dari nenek moyang mereka dan akan dipertahankan.  Hasil uji statisktik menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan responden semakin tinggi pengetahuan mereka tentang DBD (p= 0.047%). Salah satu tugas pendidikan adalah memberikan dan meningkatkan pengetahuan sehingga dicapai suatu masyarakat yang berkembang yang pada akhirnya menuju suatu perubahan prilaku.Responden yang tempat penampungan airnya tidak terdapat jentik lebih banyak merupakan responden dengan tingkat pendidikan tinggi.

Sedangkan pada responden yang tempat penampungan airnya terdapat jentik lebih banyak merupakan responden dengan tingkat pendidikan rendah. Akan tetapi dari hasil uji statistik a Chi Square diperoleh nilai p=0,773 lebih besar dari =0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara keberadaan jentik dan pengetahuan responden. Hal tersebut tidak sesuai dengan pendapat Green (1980) yang menyatakan bahwa faktor predisposisi, yang dalam hal ini adalah pendidikan responden, mempunyai pengaruh atas terjadinya perilaku seseorang. Hal tersebut dimungkinkan karena walaupun responden mempunyai pendidikan rendah, akan tetapi tetap melakukan kegiatan PSN sehingga tidak terdapat jentik di tempat penampungan airnya. Lebih jauh, informasi mengenai PSN dan penyakit DBD saat ini tidak hanya bisa diperoleh melalui bangku pendidikan tetapi juga dapat diperoleh di media massa yang mudah diakses siapa saja.

Mayoritas responden berprilaku kurang baik mengenai DBD 85%. Hal ini menandakan bahwa pengetahuan responden tentang tanda dan gejala DBD belum semua benar. Banyak responden yang masih rancu dalam membedakan antara penyebab penyakit DBD yaitu virus dengue, dan binatang yang menularkan penyakit adalah nyamuk aedes aegypty. Sebanyak 25% menganggap bahwa bak mandi adalah satu-satunya tempat penampungan air bersih dilingkungan rumah yang mungkin menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk aedes. Hanya 2% yang mengetahui tempat-tempat perindukan lainnya di sekitar rumah. Sebanyak 26% yang menyatakan bahwa tempat hinggap nyamuk aedes adalah baju kotor yang digantung. Responden mengetahui istilah 3M namun hanya 74% yang bisa menjelaskan kegiatan poko 3Mdan hanya 15% yang bisa menjelaskan 3M plus.

Dari data diketahui pula bahwa 62% responden tidak mengetahui bahwa penyakit DBD beum ada vaksinnya, dan 72% tidak mengetahui bahwa penyakit DBD balum ada obatnyaPekerjaan responden sangat bervariasi dan yang paling tinggi bekerja sebagai ibu rumah tangga, dari hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada pengaruh yang bermakna terhadap partisipasi (praktik) ibu rumah tanggadalam kegiatan PSN.Prilaku resonden yang penting seperti masih rendahya responden yang memasang kawat kasa untuk mencegah masuknya nyamuk kedalam rumah, sebanyak 72% responden yang tidak memasang obat nyamuk pada siang dan sore hari, 89% responden tidak memasang kelambu pada siang hari dengan alasan panas, 61% rssponden tidak menggunakan bubuk abate dalam tandon air bersih.Untuk mengatasi mewabahnya penyakit DBD perlu adanya Sistem surveilans yang baik adalah dengan pengamatan penyakit DBD di puskesmas meliputi kegiatan pencatatan, pengolahan dan penyajian data penderita DBD untuk pemantauan mingguan, laporan mingguan wabah, laporan bulanan program P2DBD, penentuan desa/kelurahan rawan, mengetahui distribusi kasus DBD/ kasus tersangka DBD per RW/dusun, menentukan musim penularan dan mengetahui kecenderungan penyakit. Alur pelaporan kasus DBD dimulai dari masyarakat dan dari petugas kesehatan/ rumah sakit ataupun klinik lainnya.

Laporan diberikan ke puskesmas yang diteruskan ke dinas kesehatan kabupaten/kota. Apabila pelaporan berasal dari rumah sakit bisa langsung disampikan ke dinas kesehatan kabupaten/kota. Selanjutnya, Dinas kesehatan kabupaten/kota akan melakukan tindak lanjut berupa tindakan-tindakan penyelidikan epidemiologi, pemberantasan sarang nyamuk ataupun dengan fogging. Dinas kesehatan kabupaten/kota akan melaporkan kejadian ini ke dinas kesehatan propinsi. Pelaporan kasus DBD berhenti sampai dengan tingkat propinsi. Di tingkat propinsi data akan diolah untuk keperluan upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit DBD. Perbandingan literaturReview literatur penelitian yang dilakukan oleh lilik zuhriyah,et. Al, menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka berpengaruh terhadap prilaku seseorang termasuk kemampuan seseorang dalam menerima informasi. Dan semakin luas pengetahuan mereka dalam mencegah terjadinya penyakit DBD. Faktor prilaku Sejalan dengan Peneltian yang dilakukan oleh agung, et, al menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara prilaku dengan kejadian DBD, seperti tidak penggunaan obat nyamuk dapat meningkatkan kejadian DBD. prilaku 3M sangat mampu menurunkan kejadian DBD.

Conclusion :
Kesimpulannya bahwa 85% pengetahuan responden sebagian besar kurang baik, 51% sikap responden kurang mendukung dalam memberantas penyakit DBD. Semakin tinggi jenjang pendidikan responden maka semakin baik pengetahuan mereka dalam memberantas DBD. Faktor prilaku sangat berperan penting dalam kejadian DBD seperti penggunaan obat nyamuk, melakukan 3M plus.sarannya perlu dilakukan penyuluhan prilaku hidup bersih dan bersih untuk mencegah penyakit DBD, perlunya dilakukan pemantauan langsung oleh tenaga kesehatan setempatterhadap tempat-temoaat perindukan nyamukdalam upaya pemberantasan sarang nyamuk serta perlunya dilakukan sistem surveilens yang baik guna mencegah terjadinya wabah DBD.  


Nama : Sekar Ayu Arumiasih
NIM    : E2A009173
FKM UNDIP